Ia Sang Pemantik Asa
pexels.com |
“Kamu mau sekolah, Mur?” Emak agak terkejut mendengar perkataanku pagi ini.
Aku hanya terdiam. Namun aku langsung menjawab dengan yakin,
“Iya Mak. Mur mau sekolah. Murti gak mau kalau harus pergi ke ladang atau mengasuh adek terus. Murti juga mau belajar dan pakai baju seragam sekolah.” Jawabku dengan agak terisak.
Emak hanya terdiam. Emak sadar memang harusnya aku sekolah. Tapi hasil ladang tahun ini agak payah. Emak mungkin tidak bisa membeli perlengkapan sekolah. Baju seragam pun belum tentu bisa terbeli olehnya.
“Mur, Emak tahu kamu pengen sekolah, tapi bagaimana kalau ditunda tahun depan saja, Nak.Tahun ini sepertinya kita belum punya uang untuk membayar biaya sekolah.” Emak berkata dengan hati-hati.
Aku menatap emak. Air mata mulai mengalir semakin banyak. Tahun depan? Tahun depan juga belum tentu bisa masuk sekolah. Lalu apa harus menunggu tahun depan lagi?
Aku tak bisa menahan bulir air mata yang keluar makin deras. Rasanya aku hanya ingin menangis saja. Aku mau sekolah!
Namun ditengah keputusasaanku itu tiba-tiba terdengar suara berat bapak dari balik pintu.
“Kamu benar mau sekolah?” Tanya bapak.
Aku langsung menatap ke arah bapak dan mengangguk cepat.
“Kalau kamu mau sekolah, ya sudah, besok Bapak antar kamu mendaftar.” Kata Bapak.
Antara terkejut dan bahagia saat kudengar ucapan bapak. Tak sadar aku langsung memeluk bapak. Kulihat emak berusaha untuk tersenyum kepadaku. Senyum yang sebenarnya lebih terlihat sebagai bentuk keprihatinan dan kepasrahan.
***
Sore itu aku berpakaian rapi. Aku sudah sampai di rumah Bu Aminah. Ia adalah Kepala Sekolah di Madrasah Bumi sari. Kulihat rumahnya sederhana saja. Tapi setidaknya lantainya sudah dilapisi semen. Tidak seperti rumahku yang masih berlapis tanah.
“Silakan duduk, Pak. Ada keperluan apa?” kata Bu Aminah menyambut kami.
Bapak pun menerangkan maksud dan tujuan kami. Bu Aminah langsung melihat ke arahku sambil tersenyum.
“Nanti namanya saya catat ya Murti. Bapak tinggal melengkapi berkas-berkasnya saja. Insya Allah bulan Juni anak-anak sudah masuk sekolah.” Ujar Bu Aminah.
“Ehmm.. tapi begini Bu. Ada yang mau saya sampaikan. Saya ini hanya seorang petani dan pendapatan tidak menentu. Kalau nanti bayaran sekolahnya dicicil apakah bisa, Bu?” Tanya Bapak dengan hati-hati.
Bu Aminah langsung tersenyum. “Kalau soal itu tak usah dipikirkan dulu Pak. Yang penting Murti bisa sekolah," ujar Bu Aminah.
Bapak pun langsung mengucapkan rasa terima kasih. Tak terbayang betapa senangnya aku saat itu. Rasanya sudah tak sabar ingin segera masuk sekolah bulan depan.
***
Tak terasa aku telah menjalani hari-hariku sebagai murid Madrasah Ibtidaiyah. Meski hanya dengan seragam bekas hasil pemberian tetanggaku, tapi aku sudah sangat senang karena bisa bersekolah. Toh bajunya pun masih terlihat bagus.
Sejujurnya aku sadar bahwa aku banyak berhutang budi pada Bu Aminah. Selama ini semenjak bersekolah, entah sudah berapa kali bapak telat membayar uang sekolah. Seperti biasa, Bu Aminah tak pernah mempersalahkan itu.
Ia hanya berkata bahwa nilaiku selalu baik dan selalu dapat ranking di kelas sehingga Bu Aminah memberikan keringanan kepadaku. Bu Aminah bahkan pernah memberikan hadiah berupa peralatan menulis untukku. Ah, betapa baiknya Bu Aminah.
“Murti, kamu itu anak yang tekun dan pintar. Apapun keterbatasan yang kamu hadapi saat ini, kamu tidak boleh menyerah. Kamu tetap harus rajin belajar. Beberapa murid Ibu ada yang memutuskan untuk berhenti sekolah karena mereka lebih suka bekerja di ladang. Padahal pendidikanlah sebenarnya satu-satunya harapan mereka untuk bisa mengubah kehidupan. Jadi kamu harus bertahan apapun kondisinya," ujar Bu Aminah.
Perkataan Bu Aminah itu ia ucapkan seminggu yang lalu. Setelah aku menyelesaikan ujian akhir SD ku. Perkataan itu entah kenapa terus terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku sadar bahwa apa yang ia katakan adalah benar. Orang tuaku tak ada yang lulus SD.
Saat mereka memasukkanku ke sekolah, harapan mereka tidak muluk-muluk. Setidaknya aku bisa tamat SD dan tak seperti mereka. Namun didasar hatiku sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolahku ke jenjang selanjutnya. Hanya saja aku bingung bagaimana mengatakannya kepada bapak dan emak. Aku takut permintaanku ditolak.
“Ibu akan bicara pada bapak dan emakmu agar mereka mau mengizinkanmu melanjutkan sekolah,” Bu Aminah seakan tahu dengan apa yang ada dalam pikiranku. Aku pun langsung mengangguk dan berharap semoga bapak dan emak mengerti keinginanku.
Bapak dan emak kemudian datang ke sekolah sesuai permintaan Bu Aminah. Mereka berbicara cukup lama. Saat itu kulihat orang tuaku hanya menunduk dan sekali-kali mengangguk.
Hingga akhirnya Bapak mengatakan kabar gembira. Besok aku akan diantarnya untuk mendaftar ke SMP. Bapak berkata bahwa Bu Aminah juga memberikan bantuan untuk pendaftaran masuk sekolah sebagai bentuk penghargaan atas prestasi yang aku capai. Sekali lagi, entah berapa kali aku harus berhutang budi padanya.
***
Dan beginilah aku akhirnya. Aku sudah resmi menjalani hariku sebagai siswi SMP. Aku sungguh berterima kasih pada Bu Aminah yang telah membantuku membujuk bapak dan emak,meski aku sendiri sebenarnya agak khawatir. Aku sadar bahwa di sekolah ini aku tidak boleh bersantai-santai. Sudah tidak ada lagi Bu Aminah yang mau mengerti jika aku mulai telat membayar. Tidak ada lagi Bu Aminah yang terus menyemangatiku untuk terus semangat belajar.
Di SMP ini aku harus berjuang keras. Selain belajar, aku juga harus rajin membantu bapak dan emak di ladang. Tak mengapa, akan kulakukan apapun agar aku bisa tetap sekolah.
***
Aku ingat sekali, siang itu merupakan hari terkelam dalam hidupku. Tiba-tiba aku diminta pulang lebih cepat oleh guruku. Kulihat pamanku menunggu di depan gerbang sekolah.
Matanya terlihat sembab. Jantungku langsung berdebar amat kencang. Aku yakin telah terjadi sesuatu yang tak kuinginkan. Tapi apa? Aku sungguh tak siap mendengarnya.
Dan ternyata benar. Paman mengatakan bahwa kepala bapak terluka parah karena jatuh dari pohon kelapa. Bapak sempat dibawa ke rumah sakit namun sayangnya tak bisa diselamatkan.
Badanku kaku. Aku berharap ini hanya mimpi. Pandanganku kabur. Air mataku tak mau berhenti mengalir. Kenapa aku harus kehilangan sosok bapak yang kusayangi? Kenapa ujianku begitu berat? Kenapa? Aku tersungkur sambil memikirkan hidupku yang seakan tanpa harapan.
Tuhan, apa yang harus kulakukan?
***
15 tahun telah berlalu sejak kejadian itu..
Begitu banyak hal yang kulalui. Sudah hampir 15 tahun aku menjadi TKW di Malaysia dan terhitung seminggu yang lalu kontrak kerjaku sudah habis. Besok pagi aku akan pulang ke
Indonesia. Kuambil sebuah foto yang kutempel di lemariku. Foto emak dan dua adikku dengan latar depan rumah kami. Rumah yang sudah kubangun lebih layak untuk mereka.
Si bungsu Dewi sekarang sedang menyelesaikan kuliahnya di Kebidanan. Ratna adikku yang nomor dua baru saja diterima menjadi guru di sebuah SD dekat rumahku. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengan mereka. Ada rasa haru dan bangga yang kian membuncah.
Teringat kembali peristiwa kelam yang menimpaku saat Bapak tiada. Emak harus berusaha keras untuk mencari uang bagiku dan kedua adikku. Aku tak sanggup lagi melihat telapak tangan emakku yang kian melepuh. Ditambah kulitnya yang makin gelap dan kasar akibat diterpa sinar matahari dan hujan. Aku memutuskan untuk bangkit.
Aku percaya Tuhan Maha Baik. Aku harus melakukan sesuatu sekalipun mungkin harus mengorbankan cita-citaku untuk lanjut ke SMA. Ketika pamanku datang membawa kabar pendaftaran TKW di Malaysia dengan ijazah SMP, aku pun langsung mengambil kesempatan itu. Sebelum aku berangkat kerja ke Malaysia, aku sempat menemui Bu Aminah guru sekolahku dulu untuk berpamitan. Ia mengatakan sesuatu padaku sambil menatap mata dan memegang pundakku,
“Murti, selama ini Ibu sangat kagum dengan perjuanganmu. Kau termasuk anak didik yang Ibu banggakan. Apapun keputusanmu, berjanjilah untuk tidak pernah berhenti belajar dimanapun kamu berada. Ingatlah, cita-cita dan impianmu tak boleh berhenti.
Semua itu harus terus ada yang melanjutkan. Jaga dirimu baik-baik. Jangan pernah pernah mematikan harapan ataupun menyerah dengan keadaan," kata Bu Aminah. Wajahnya tampak tulus dan sungguh-sungguh.
Perkataan Bu Aminah kusimpan erat-erat dalam hatiku hingga sekarang. Aku sadar bahwa apa yang kucapai hari ini sebenarnya tak lepas dari keyakinannya kepadaku sejak dulu. Aku sungguh bersyukur telah dipertemukan dengan sosok guru seperti Bu Aminah.
Aku bertekad akan menemuinya setelah sampai di kampung nanti. Kuingin segera bersua untuk mengatakan padanya, bahwa adik-adikku telah berhasil melanjutkan cita-citaku dahulu. Mataku pun kemudian menerawang jauh. Terbayang kembali akan perjuangan yang telah kulalui.
Kepergianku untuk merantau jauh ke negeri seberang telah kulakukan untuk keluarga dan masa depan. Kini saatnya aku pulang. Untuk segera berjumpa dengan sosok-sosok pahlawan yang telah menjadi pemantik secercah harapan.
(Cerpen ini terinspirasi dari kisah seorang sahabat masa kecil)
24 komentar untuk "Ia Sang Pemantik Asa"
Jadi, Murti-Murti lainnya memang harus berjuang sendiri-sendiri 😢
Silahkan sampaikan pendapatmu. Mari kita berdiskusi :)