Gelar Haji : Sebuah Sisa Peninggalan Penjajah
Ibadah haji merupakan salah satu rukun islam yang kelima. Semua umat islam pasti memiliki harapan untuk melaksanakan ibadah ini. Tidak semua umat bisa mengerjakan ini karena memang diperlukan kecukupan materi dan kesehatan fisik dalam melaksanakannya. Semoga kita dipermudah jalannya untuk melaksanakan ibadah yang satu ini.
Di Indonesia sendiri ada hal menarik yang bisa kita temui dalam pelaksanaan ibadah haji, yaitu gelar yang disematkan pada siapapun individu yang sudah melaksanakan ibadah tersebut. Uniknya, gelar ini sepertinya hanya ada di Indonesia. Di Arab atau di negara lain sepertinya tak ada orang yang diberi gelar haji. Lantas, darimana gelar tersebut berasal?
Bermula di Zaman Kolonialisme
Di masa penjajahan kompeni, orang Belanda menganggap bahwa orang yang baru selesai berhaji adalah orang yang bisa saja mengajarkan hal-hal baru sepulang dari tanah suci. Akibatnya para penjajah khawatir jika orang-orang tersebut akan melakukan pemberontakan.
Untuk meminimalisir hal tersebut, penjajah Belanda pun membuat sebuah sistem yaitu orang yang sudah berhaji akan mendapat gelar Haji dan diminta menggunakan pakaian serta sorban putih. Kenapa hal tersebut dilakukan? Agar mereka mudah diawasi. Itu saja.
Sampai sekarang kita masih melihat sisa-sisa peninggalan penjajah tersebut. Kita masih memanggil orang-orang yang sudah berhaji dengan panggilan khusus yaitu haji atau hajjah. Biasanya mereka pun khususnya lelaki akan sering menggunakan peci putih. Padahal kalau ditinjau dari sisi syariat sebenarnya tak ada aturan tersebut.
Setujukah dengan Gelar Haji?
Kalau aku sendiri sebenarnya kurang setuju dengan adanya penyematan gelar itu. Orang yang bergelar haji seakan mendapatkan status istimewa di mata masyarakat.
Memang sih tidak mudah untuk bisa menjalankan ibadah wajib satu ini karena memerlukan kesiapan mental dan materi. Akibatnya ibadah haji memang terasa begitu spesial. Namun, bukan berarti kita jadi harus mengkhususkan diri sehingga perlu gelar tersendiri ketika sudah menjalankannya.
Lagipula gelar haji ini menurutku bisa saja menimbulkan rasa riya dan berbangga pada orang yang menjalankannya. Akibatnya malah muncul rasa sombong, merasa lebih baik dari orang lain, merasa layak diutamakan dan dihormati. Padahal harusnya tidak demikian. Apalagi jika ternyata setelah berhaji tidak ada yang berubah dari akhlak, perilaku dan tutur kata dari orang tersebut, sehingga hal itu malah terkadang menimbulkan stigma buruk kepada orang yang berhaji.
Haji bukanlah gelar duniawi. Haji adalah bentuk ibadah. Sama seperti sholat, zakat, puasa (dan gak ada gelar untuk itu semua bagi yang menjalankannya kan?) sehingga aku rasa tak perlulah dibuat gelar khusus akan hal tersebut.
Alasan utama juga kenapa aku kurang sreg dengan gelar ini karena memang tidak ada aturannya dalam syariat agama. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saja tidak pernah menyematkan gelar haji pada nama atau nisannya. Belum pernah kan kita mendengar Haji Muhammad bin Abdullah?
Itulah sebabnya, gelar yang diberikan penjajah tersebut tak perlu diteruskan lagi di jaman sekarang meski tentu saja kita berharap suatu saat nanti bisa termasuk orang yang menjalankan ibadah haji. Jika kelak kita diberi kesempatan menjalankan ibadah ini, maka tak perlu kita menyematkan gelar itu pada nama kita nanti karena yang terpenting bukanlah soal gelar, melainkan apakah kita termasuk haji yang mabrur atau tidak. Semoga kita semua Allah mudahkan agar bisa menjalani ibadah wajib satu ini. Aamiin Yaa Rabb.
Sumber : CNBC Indonesia
Posting Komentar untuk "Gelar Haji : Sebuah Sisa Peninggalan Penjajah"
Posting Komentar
Silahkan sampaikan pendapatmu. Mari kita berdiskusi :)